Gaza Diserahkan ke Pasukan Internasional, Timbulkan Kekhawatiran Kendali Kolonial

REPUBLIKA NETWORK, SEKITARKALTIM – Resolusi Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa yang baru telah memicu luapan kritik atas apa yang banyak pihak dianggap sebagai kebangkitan kembali model era kolonial di Palestina.
Resolusi yang disahkan pada hari Senin itu memberi wewenang kepada pasukan internasional di Gaza untuk menggunakan "semua langkah yang diperlukan" guna menegakkan misinya.
Langkah ini menurut para analis, dilaporkan Days of Palestine pada Rabu, memberikan kekuasaan militer dan administratif yang luas atas wilayah yang hancur tersebut.
Berdasar rencana itu, Presiden AS Donald Trump akan mengawasi masa transisi dua tahun melalui apa yang disebut "Pasukan Stabilisasi Internasional" (ISF) dan "dewan perdamaian".
Pasukan ini bertanggung jawab untuk membentuk masa depan politik Gaza. Pasukan multinasional, sejumlah teknokrat Palestina terpilih, dan kepolisian lokal diharapkan akan melaksanakan program ini.
Bayangan Kolonial Lama
Bagi banyak pengamat, kerangka kerja ini mengingatkan pada masa lalu yang dipahami Palestina.
Sejarawan Inggris-Israel, Avi Shlaim, menggambarkan inisiatif tersebut sebagai "skema kolonial klasik", dan mengatakan kepada Middle East Eye bahwa hal itu mencerminkan Mandat Inggris yang diberlakukan seabad lalu.
Helena Cobban, penulis Understanding Hamas, mencatat bahwa bahkan kata "mandat" pun memiliki beban sejarah yang berat di Asia Barat. Diksi mandat, katanya, pernah membenarkan kendali asing dengan mengklaim penduduk lokal "belum siap" untuk memerintah diri sendiri.
Resolusi 2803 secara samar-samar merujuk pada kenegaraan Palestina, tetapi hanya jika persyaratan yang tidak ditentukan terpenuhi.
Daniel Levy, mantan negosiator Israel, berpendapat bahwa dengan memberikan persyaratan pada hak asasi, PBB telah mengubah dirinya "menjadi badan yang melemahkan" hukum internasional.
Pemungutan suara itu disetujui 13 anggota, sedangkan Rusia dan Tiongkok abstain, yang keduanya tidak menggunakan hak veto.
Sekelompok besar negara mayoritas Muslim dan Arab mendukung rencana tersebut, didorong dukungan Otoritas Palestina, yang memberi perlindungan politik bagi negara-negara yang enggan untuk mengikuti.
Reaksi Global
Hamas dan faksi-faksi Palestina lainnya telah menolak resolusi tersebut secara langsung, terutama seruan tersiratnya untuk pelucutan senjata. Tuntutan ini langsung menimbulkan kekhawatiran praktis.
Israel, meskipun telah berperang intensif selama dua tahun, belum berhasil melenyapkan Hamas. Para kritikus mempertanyakan bagaimana pasukan internasional dapat berhasil dan negara Arab atau Muslim mana yang bersedia melakukannya.
Cobban mencatat bahwa tidak ada militer regional yang akan bersemangat untuk melakukan tugas yang tidak dapat diselesaikan Israel.
Meskipun Hamas sebelumnya mengisyaratkan sayap militernya dapat diintegrasikan ke dalam pasukan keamanan negara Palestina yang merdeka di masa depan, skenario tersebut masih jauh dari kenyataan.
Dengan rencana pengerahan pasukan yang tidak jelas, perlawanan di lapangan, dan oposisi politik yang signifikan, implementasi resolusi tersebut tampak tidak pasti.
Namun, bobot simbolisnya, sebuah rencana untuk Gaza yang disetujui PBB dan dikelola AS, mungkin lebih penting daripada kepraktisannya.
Cobban memperingatkan bahwa keputusan Dewan Keamanan itu pukulan telak bagi kredibilitas PBB.
"Apa yang terjadi di Dewan Keamanan telah membawa aib bagi Perserikatan Bangsa-Bangsa," ujarnya. "Mungkin butuh waktu bertahun-tahun bagi lembaga ini untuk pulih, jika memang bisa."
Hukuman Mati 90 Hari Tanpa Banding
Di Israel, Komite Keamanan Nasional Knesset mengadakan sidang Rabu. Sidang membahas rancangan undang-undang yang akan menjatuhkan hukuman mati pada tahanan Palestina dalam waktu 90 hari, tanpa kemungkinan banding, menurut Haaretz.
Proposal tersebut, yang diajukan Menteri Keamanan Nasional sayap kanan Itamar Ben-Gvir dan partainya Otzma Yehudit, akan berlaku bagi warga Palestina yang dituduh membunuh warga Israel, termasuk individu yang diduga merencanakan atau mendukung serangan.
Proposal ini tidak akan berlaku bagi pemukim Israel yang membunuh warga Palestina atas dasar nasionalis. Sebuah perbedaan sifat rasis yang terang-terangan dalam undang-undang tersebut.
Berdasarkan rancangan UU ini, eksekusi hanya memerlukan suara mayoritas sederhana di badan peradilan terkait, sehingga hakim kehilangan kewenangan diskresi.
RUU ini menghilangkan kemungkinan pengurangan hukuman melalui tawar-menawar pembelaan, menggugat putusan, atau meminta grasi.
Setelah putusan berkekuatan hukum tetap, eksekusi harus dilaksanakan dalam waktu hanya 90 hari, jangka waktu yang belum pernah terjadi sebelumnya dalam UU Israel dan dijelaskan para pendukungnya sebagai cara mencegah “kemungkinan menghindari hukuman.”
Rincian yang baru dirilis pada hari Selasa mengonfirmasi bahwa eksekusi akan dilakukan dengan suntikan mematikan, yang dikelola Dinas Penjara Israel.
Asosiasi Medis Israel menyatakan pada hari Rabu bahwa dokter dilarang berpartisipasi dalam eksekusi, sebuah masalah yang saat ini sedang dibahas di Knesset.
RUU itu disahkan Komite Keamanan Nasional pada 3 November, dan memicu kecaman dari organisasi-organisasi hak asasi manusia.
Mereka memperingatkan RUU tersebut mengukuhkan praktik apartheid dan memformalkan hukuman diskriminatif.
Para anggota parlemen menyetujui RUU tersebut dalam pemungutan suara pertama dari tiga pemungutan suara wajib Knesset awal bulan ini.
Amnesty International menggambarkan langkah tersebut sebagai eskalasi berbahaya dan kemunduran yang serius.
Amnesty juga menekankan memaksa pengadilan untuk menjatuhkan hukuman mati secara eksklusif kepada warga Palestina muncul dari iklim impunitas sistemik.
Pengadilan mencatat bahwa rancangan undang-undang tersebut tidak berdiri sendiri, tetapi bagian pola yang lebih luas: peningkatan tajam pembunuhan di luar hukum terhadap warga Palestina selama dekade terakhir.
Termasuk kasus-kasus eksekusi di luar hukum, peningkatan yang mengkhawatirkan soal kematian warga Palestina dalam tahanan Israel sejak Oktober 2023. Serta lonjakan serangan pemukim yang didukung negara di seluruh Tepi Barat yang diduduki.
Tindakan-tindakan ini, menurut pengadilan, tidak hanya tidak dihukum tetapi juga sering kali disertai dengan dukungan legislatif, dukungan politik, dan bahkan glorifikasi.
Para analis berpendapat RUU ini mencerminkan semakin kuatnya kekuatan faksi-faksi sayap kanan dalam politik Israel. Di sisi lain, semakin gencarnya seruan untuk tindakan lebih keras terhadap warga Palestina, selama genosida Israel di Gaza.
Jika RUU ini lolos dari sisa pembahasannya, Israel akan mengadopsi salah satu undang-undang hukuman mati paling kejam dan diskriminatif di dunia. Sebuah UU yang dirancang khusus menyasar warga Palestina dan menghindari perlindungan hukum.
Mila