Pihak Otoritas: Gaza Alami Bencana Terburuk dalam Sejarah Modern

REPUBLIKA NETWORK, SEKITARKALTIM – Kantor Media Pemerintah Gaza mengatakan pada hari Ahad, Jalur Gaza sedang menghadapi "salah satu bencana terburuk dalam sejarah modern."
Kantor tersebut memperingatkan bahwa penduduknya menghadapi krisis yang parah dan semakin parah karena kekurangan tenda yang dibutuhkan untuk melindungi para pengungsi.
Dalam pernyataan resminya, kantor tersebut mendesak semua negara menekan penjajah Israel agar segera mengizinkan bantuan kemanusiaan masuk ke wilayah yang terkepung itu.
“Kami menghadapi krisis yang sangat parah di Jalur Gaza karena kurangnya makanan, obat-obatan, dan tenda,” demikian bunyi pernyataan itu, dilaporkan Days of Palestine, Ahad.
Para pejabat menekankan sistem layanan kesehatan berada di ambang kehancuran total dan membutuhkan intervensi internasional yang mendesak.
Direktur Kantor Media Pemerintah, Dr. Ismail al-Thawabta memperingatkan warga menderita akibat suhu beku dan hujan deras seiring memburuknya kondisi musim dingin.
Dalam sebuah wawancara, al-Thawabta menggambarkan situasi tersebut sebagai "bencana kemanusiaan yang tragis dan belum pernah terjadi sebelumnya," dan mengatakan krisis ini telah meningkat sejak dimulainya apa yang disebutnya sebagai genosida dua tahun lalu.
Ia mencatat meski gencatan senjata berlaku sebulan lalu, penyeberangan perbatasan masih ditutup, dan pasukan Israel terus menunda masuknya bahan-bahan perlindungan.
Padahal ada ketentuan dalam perjanjian gencatan senjata kemanusiaan yang mengharuskan pengirimannya. Al-Thawabta mengatakan bencana di Gaza persis seperti yang telah diperingatkan badan-badan internasional selama berbulan-bulan.
"Inilah yang diinginkan pendudukan Israel, memperburuk bencana kemanusiaan hingga mencapai kehancuran nyata dan menghancurkan ini," ujarnya.
Ia menambahkan, pasukan Israel telah menghancurkan hampir 288.000 unit rumah Palestina selama dua tahun terakhir, menyebabkan ratusan ribu keluarga mengungsi.
Keluarga-keluarga ini tinggal di tenda-tenda darurat, sebagian terbuat dari kain, sebagian lagi dari plastik, tersebar di setiap kegubernuran di Gaza.
Setelah dua tahun pemboman, pengungsian, dan blokade yang menyesakkan, tenda-tenda ini telah rusak parah. Tak ada yang tersisa darinya.
Pihak berwenang di Gaza menegaskan kembali permohonan mendesak mereka untuk bantuan segera, sambil memperingatkan bahwa tanpa tempat berlindung, makanan, obat-obatan, dan sistem kesehatan yang berfungsi.
Menurutnya jalur Gaza menghadapi kehancuran kemanusiaan dengan konsekuensi yang akan semakin parah setiap harinya.
WHO: Hampir 4.000 Anak di Gaza Masih Tunggu Evakuasi Medis
Di sisi lain, Kepala WHO mengatakan lembaganya bekerja di Gaza untuk membangun kembali layanan kesehatan yang hancur dan memindahkan pasien kritis keluar dari wilayah tersebut, satu bulan setelah gencatan senjata disepakati.
Dalam sebuah postingan di X, Tedros Adhanom Ghebreyesus mengucapkan terima kasih kepada 30 negara yang sejauh ini telah menerima pasien dan mengajak negara lain untuk bergabung.
Ia mengatakan, "lebih dari 16.500 pasien, termasuk hampir 4.000 anak-anak, sedang menunggu evakuasi untuk mendapatkan perawatan darurat di luar Gaza."
Tedros juga menyerukan agar semua rute evakuasi dibuka, “terutama ke Tepi Barat, termasuk Yerusalem Timur”.
Musim Dingin Hantam Keluarga Tunawisma di Gaza
Saat ini, musim dingin telah tiba di Gaza bagai serangan kedua. Cuaca dingin tak henti-hentinya, dan tanpa ampun terhadap penduduk yang telah hancur akibat dua tahun pemboman dan pengungsian massal.
Selama dua hari, hujan mengguyur Jalur Gaza. Di kamp-kamp tenda tempat ratusan ribu warga Palestina berjuang bertahan hidup, semuanya bocor.
Air merembes melalui kanvas yang robek dan lembaran plastik yang terkelupas, membanjiri tanah di bawah keluarga-keluarga yang tidak punya tempat lain untuk berlindung.
Banyak kamp terletak di daerah dataran rendah, yang mengubahnya menjadi cekungan yang menampung limpasan air dari jalan-jalan di sekitarnya. Seluruh bagian kini terendam.
Di dalam gedung-gedung yang hancur akibat bom, reruntuhan bangunan yang kini disebut "tempat berlindung", atap-atapnya terus menetes.
Dinding-dinding runtuh. Setiap hujan deras menimbulkan kekhawatiran bahwa struktur yang rapuh itu akhirnya akan runtuh, mengubur orang-orang di dalamnya.
Di sepanjang pantai, tenda-tenda didirikan dengan putus asa menghadapi gelombang musim dingin yang ganas yang dapat menyapu bersih perlindungan yang tersisa bagi keluarga.
Di tempat pengungsian, mereka tidak punya selimut. Tidak ada bahan bakar. Tidak ada material yang tepat untuk memperkuat tempat berlindung dari angin dan hujan.
Tenda-tenda ini tidak pernah dibangun untuk bertahan dari badai.
Sebagian besar memang tidak dirancang untuk ditinggali selama berbulan-bulan, apalagi bertahun-tahun.
Angin dingin dan hujan deras mengubah kondisi kehidupan yang sudah brutal menjadi sesuatu yang hampir tak tertahankan.
Namun, Israel terus memblokir masuknya tenda, pakaian musim dingin, terpal plastik, dan pasokan penting lainnya ke Jalur Gaza.
Akibatnya memperdalam apa yang digambarkan badan-badan bantuan sebagai mimpi buruk kemanusiaan yang sebenarnya bisa dicegah.
Pada hari Sabtu, warga Palestina mencoba membuat parit di sekitar tenda mereka, menggunakan tangan kosong, peralatan rusak, atau potongan logam untuk menahan banjir.
Yang lainnya berlindung di bangunan yang hancur, bahkan yang tampak terancam runtuh, karena tinggal di luar berarti kedinginan di tengah badai.
Badan-badan kemanusiaan telah menghabiskan waktu berminggu-minggu untuk mengeluarkan peringatan yang sama: penduduk Gaza yang terusir tidak siap untuk bertahan hidup di musim dingin.
Usai dua tahun serangan tanpa henti, lebih dari 198.000 bangunan di seluruh Jalur Gaza telah rusak atau hancur, menurut Perserikatan Bangsa-Bangsa.
Seluruh lingkungan telah lenyap. Keluarga-keluarga yang pernah mengungsi telah mengungsi lagi dan lagi, beberapa bahkan lebih dari belasan kali.
Kini yang tersisa hanyalah tempat berlindung sementara yang disatukan oleh tali, paku, dan harapan.
Meski perjanjian gencatan senjata diumumkan pada 10 Oktober, Israel tetap membatasi aliran bantuan secara ketat, sehingga warga sipil terpapar suhu dingin yang ekstrem dan badai berbahaya.
Kelompok-kelompok bantuan memperkirakan bahwa sekitar 260.000 keluarga Palestina, hampir 1,5 juta orang, kini berada dalam risiko ekstrem seiring penurunan suhu.
Mila