Riset Terbaru: 40 Ribu Tahun Lalu Nusantara telah Kuasai Pelayaran

REPUBLIKA NETWORK, SEKITARKALTIM – Sejauh ini, para ilmuwan memerkirakan manusia mencapai Australia sekitar 50 ribu tahun lalu dengan mengarungi kepulauan Nusantara di wilayah Wallacea.
Yang meliputi Sulawesi, Lombok, Sumbawa, Flores, Sumba, dan Timor. Namun, tak diketahui teknologi pelayaran apa yang digunakan saat itu.
Adapun salah satu perahu tertua yang ditemukan, yaitu kano Pesse di Belanda yang penanggalan karbon memperkirakan pembuatannya antara tahun 8040 hingga 7510 SM.
Adapun penggambaran perahu tertua berasal dari Norwegia.
Seni cadas di Valle, Norwegia menggambarkan ukiran perahu sepanjang lebih dari empat meter dan diperkirakan berusia 10.000 hingga 11.000 tahun.
Namun, penelitian terbaru menunjukkan teknologi mengarungi lautan sedianya sudah dikuasai penduduk Nusantara, alias Kepulauan Asia Tenggara (ISEA) sejak 40 ribu tahun silam, jauh sebelum peradaban-peradaban lain.
Lirik lagu anak-anak karya Ibu Sud, “Nenek Moyangku Seorang Pelaut” ternyata bukan isapan jempol semata.
Penelitian yang dilakukan para peneliti dari Universitas Ateneo de Manila yang dilansir pada 2025, menantang keyakinan yang diterima bahwa kemajuan teknis Paleolitik berpusat di Afrika dan Eropa.
Faktanya, kemajuan teknologi pelayaran Nusantara melampaui yang dianggap mungkin terjadi selama era Paleolitikum.
Bukti arkeologis terkait klaim ini hadir dalam bentuk perkakas batu yang digali di situs-situs di Filipina, Indonesia, dan Timor-Leste.
Peninggalan-peninggalan itu menunjukkan bukti kuat bahwa sejak 40.000 tahun yang lalu, terdapat kecanggihan teknologi dari para pelaut kuno ini yang menyaingi peradaban setelahnya.
Dalam penelitian yang diterbitkan Journal of Archaeological Science, para peneliti dari Universitas Ateneo de Manila menunjukkan jejak pengolahan tanaman.
Yang menampilkan “ekstraksi serat yang diperlukan untuk membuat tali, jaring, dan pengikat yang penting untuk pembuatan kapal dan penangkapan ikan di laut terbuka.”
Ditambah dengan penemuan kail pancing, ngarai, jaring, dan sisa-sisa ikan laut dalam seperti tuna dan hiu, situs-situs arkeologi ini merupakan eksplorasi kaya akan budaya pelayaran yang kuat.
“Sisa-sisa ikan pelagis predator besar di lokasi ini menunjukkan kemampuan pelayaran tingkat lanjut dan pengetahuan tentang musiman dan rute migrasi spesies ikan tersebut,” tulis para penulis penelitian.
Di antaranya Riczar Fuentes dan Alfred Pawlik.
Koleksi ikan dan peralatan yang tersisa “menunjukkan perlunya tali dan tali pancing yang kuat dan dirancang dengan baik untuk menangkap fauna laut.”
Karena temuan arkeologis menunjukkan adanya metode penangkapan ikan di laut dalam yang canggih. Penulis penelitian percaya, para pelaut zaman dahulu membuat perahu dari bahan organik dan menyatukannya dengan tali nabati.
Teknologi tali yang sama kemudian diadaptasi untuk penangkapan ikan yang sebenarnya.
Walaupun keberadaan fosil dan artefak di berbagai pulau sudah diterima secara luas sebagai bukti bahwa manusia modern awal berpindah melintasi laut terbuka.
Para peneliti menentang teori yang berlaku bahwa migrasi prasejarah orang-orang yang terapung di laut secara pasif, menggunakan rakit bambu.
Sebaliknya, mereka berpendapat pergerakan itu berasal dari navigator berketerampilan tinggi yang dilengkapi pengetahuan dan teknologi untuk melakukan perjalanan ke lokasi terpencil di perairan dalam.
“Identifikasi bahan pembuatan perahu melalui bukti langsung atau tidak langsung sangat penting dalam memahami pergerakan di seluruh dan di dalam lingkungan pulau,” tulis para penulis dalam penelitian tersebut.
“Kehadiran teknologi maritim canggih di ISEA prasejarah menyoroti kecerdikan masyarakat awal Filipina dan negara-negara tetangga mereka,” kata para penulis dalam pernyataan dari universitas tersebut.
Yang pengetahuan pembuatan kapalnya kemungkinan besar menjadikan wilayah ini, “Sebagai pusat inovasi teknologi puluhan ribu tahun yang lalu dan meletakkan dasar bagi tradisi maritim yang masih berkembang di wilayah ini hingga saat ini.”
Republika