Serba Serbi

Ketika Komite Hijaz Gagalkan Rencana Pembongkaran Makam Rasulullah

Umat Muslim berdoa di depan Makam Rasulullah.  
Umat Muslim berdoa di depan Makam Rasulullah.

REPUBLIKA NETWORK, SEKITARKALTIM – Di era Ibnu Saud, Pemerintah Arab Saudi menghancurkan benteng Ajyad yang telah ada sejak era Ottonom.

Tempat-tempat bersejarah warisan zaman Rasul dan Sahabat hendak dibongkar. Termasuk rencana pembongkaran dan pemindahan makam Rasulullah.

Mendengar kabar itu, Komite Hijaz, nama kepanitiaan kecil yang dikomandoi KH Abdul Wahab Chasbullah, langsung bereaksi. Jangan sampai makam Rasul dihancurkan.

Scroll untuk membaca

Scroll untuk membaca

Rencana Dinasti Saud yang ingin membongkar makam Rasulullah membuat ulama-ulama pesantren cemas. Dinasti Saud menganggap peziarah ke makam Nabi dari Muslim dunia sebagai perbuatan bid’ah.

Raja Saud pun berencana menolak praktik bermadzhab di daerah kekuasaannya. Dinasti Saud hanya ingin menerapkan paham Wahabi sebagai madzhab resmi Kerajaan Saudi.

Rencana itu lantas sampai ke Muktamar Dunia Islam di Makkah. Hal itu dipandang ulama pesantren cenderung puritan dan menjadi alat selanjutnya memberangus tradisi dan budaya yang berkembang di dunia Islam. Jika itu terjadi maka dinilai menghambat kemajuan peradaban Islam.

Merespon hal tersebut, KH Abdul Wahab Chasbullah bergerak cepat saat Centraal Comite Chilafat (CCC), tranformasi dari Centraal Comite Al-Islam akan mengirimkan delegasi ke Muktamar Dunia Islam di Makkah tahun 1926. CCC telah menggelar Kongres Al-Islam keempat, 21-27 Agustus 1925 di Yogyakarta.

Di kongres itu Kiai Wahab meminta agar delegasi harus mendesak Raja Saud melindungi kebebasan bermadzhab. Kiai Wahab melobi beberapa tokoh seperti KH Mas Mansur, Wondoamiseno, H.O.S Tjokroaminoto dan Ahmad Soorkatti. Namun usahanya itu berakhir dengan kekecewaan.

Atas dasar kekecewaan itu, Kiai Wahab mengambil langkah strategis membentuk panitia sendiri yang disebut Komite Hijaz pada Januari 1926. Tujuannya agar bisa mengirimkan delegasi ke Muktamar Dunia Islam di Makkah dan menyampaikan penolakan atas sikap Raja Saud.

Pendirian Komite Hijaz mendapat restu dari Kiai Hasyim Asy’ari. Pada 31 Januari 1926, Komite Hijaz mengundang ulama-ulama besar membicarakan siapa yang akan diutus ke Makkah.

Pertemuan di Kertopaten Surabaya, dipimpin Kiai Hasyim Asy’ari sepakat mengutus KH Rades Asnawi Kudus. Setelah muncul pertanyaan atas nama apa Kiai Asnawi datang ke Muktamar tersebut.

Maka disitulah lahir nama Jam’iyah Nahdlatul Ulama. Nama ini atas saran KH Mas Awli bin Abdul Aziz pada 31 Januari 1926 atau bertepatan pada 16 Rajab 1344 H.

Dilansir NU Online, Pengasuh Pondok Pesantren Daarul Rahman KH Syukron Ma’mun menjelaskan, cikal bakal lahirnya NU sangat erat kaitannya dengan urusan dan kemaslahatan umat di Indonesia dan dunia.

“Tahun 1922 ada isu di tanah suci bahwa kuburan Rasulullah itu mau digusur dan diratakan pemerintahan Ibnu Saud. Adanya isu ini menjadi anggapan dari sebagian mereka bahwa ziarah kubur itu syirik. Dari kejadian ini, KH Hasyim Asyari langsung mendirikan Komite Hijaz. Dan Komite Hijaz inilah embrionya organisasi NU,” ujarnya, Selasa (21/6/2022) silam.

KH Syukron menjelaskan dalam Komite Hijaz beranggotakan para kiai sepuh pimpinan pondok pesantren.

Para Kiai itu, antara lain, KH Wahab Hasbullah, Syeikh Al-Gonawi guru Mesir, Kiai Ilyas dari Pekalongan.

“Kiai-kiai inilah yang menjadi utusan resmi ke Saudi Arabia untuk bertemu Raja Ibnu Saud. Dan syukur alhamdulillah komite ini berhasil, sehingga akhirnya kuburan Rasullulah tidak jadi digusur dan dibongkar,” jelasnya.

Setelah sampai Indonesia Komite Hijaz ingin membubarkan diri, namun oleh Kiai Hasyim Asyari dilarang. “Kiai Hasyim melarang karena orang Indonesia akan mondar-mandir ke Saudi, pasti nanti ajaran Wahabi akan dikembangkan mereka kepada jamaah haji dan umrah. Untuk menjaga ajaran aqidah Aswaja, akhirnya berubah namanya menjadi Nahdlatul Wathan,” jelasnya.

Setelah Nahdlatul Wathan (kebangkitan tanah air) barulah berubah namanya menjadi Nahdlatul Ulama (kebangkitan ulama).

Berdasarkan estimasi Gulf Institute, sebanyak 95 persen bangunan yang berumur 1.000 tahun telah dihancurkan dalam 20 tahun terakhir oleh Pemerintah Arab Saudi.

Wahabi dinilai sebagai sebuah gerakan yang cukup berbahaya. Dikhawatirkan akan mengurangi khazanah keislaman dalam bidang sejarah penyebaran Islam.

Apalagi, Pemerintah Arab Saudi juga telag menghancurkan benteng Ajyad yang sudah ada sejak era Ottonom. Selain itu, sebuah masjid cucu Rasulullah dihancurkan dengan dinamit.

Praktik mereka masih berlangsung hingga kini walau sudah dicegah para pelobi dari ulama Nusantara melalui ulama Hijaz. Penghancuran situs sejarah Islam itu lantaran pemahaman ala Wahabi yang menjadi mayoritas di Saudi.

Sejak Ibnu Saud, Raja Najed yang beraliran Wahabi, menaklukkan Hijaz (Makkah dan Madinah) tahun 1924-1925, aliran Wahabi sangat dominan di tanah Haram. Kelompok Islam lain dilarang mengajarkan Mazhabnya, bahkan tidak sedikit melahirkan catatan sejarah berdarah.

Catatan Sejarah Berdarah

Dihimpun dari berbagai sumber, ada banyak kitab-kitab klasik yang membahas ancaman bahaya gerakan Wahabi. Termasuk catatan perjalanan berdarah mereka.

Semisal kitab Al Shawa’iq al ilahiyah fi al Raddi ala al Wahhabiyah, Fashl al Khithab fi ar Raddi ala Muhammad bin Abdil Wahhab. Naqdhu al Wahhabiyah, al Khathar al Wahhab, al Fikru al Damwi 'Inda al Harakah al Wahhabiyah, al Wahhabiyah.

Lalu, Al Wahhabiyyun Tarikhu maa Ahmalahu al Tarikh, Al Futuhaat al Islamiyyah, Fajr Al Shodiq Fir Raddi ‘Ala Munkiri At Tawassul Wal Karamat Wal Khawariq.

Kitab-kitab mengingatkan ancaman bahaya paham Wahabi. Dari Tauhid yang diubah sampai penjelasan jejak-jejak berdarah mereka.

Misalnya al Shawa’iq al Ilahiyah fi al Raddi ala al Wahhabiyah dan Fashl al Khithab fi ar Raddi ala Muhammad bin Abdil Wahhab. Kitab ini ditulis Syekh Sulaiman bin Abdul Wahab, saudara kandung pendiri Wahabi An Najd: MBAW An Najd.

Tetapi pada beberapa tahun belakangan nama MBAW dicitrakan sedemikian rupa. Kemudian mencari kambing hitam pada Ibn Rustum sebagai pendiri Wahabi. Padahal keduanya beda zaman, beda wilayah.

Di kitab itu, Syekh Sulaiman membahas bagaimana cara berfikir gerakan Wahabi yang memiliki banyak kelemahan dari pelbagai sudut pandang. Terutama masalah vonis pengkafiran terhadap Muslim.

Syekh Sulaiman menentang keras paham Wahabi sampai beliau melarikan diri lantaran diancam dibunuh pendiri Wahabi, yang nota bene saudara kandungnya sendiri.

Penentangan dan penolakan terhadap sekte Wahabi, juga diabadikan dalam Kitab Naqdhu al Wahhabiyah, karya Syaikh Muhammad Husein al-Kasyif al-Ghitho'. Isinya menanggapi pelbagai macam fatwa ulama Wahabi, dan memaparkan kesalahan fatwa-fatwa mereka.

Begitu pula dalam Kitab al Khathar al Wahhabi, yang ditulis Shaleh al Wardani. Berisi tiga tulisan penting yang menghantam tentang paham Wahabi. Dari Tauhid yang menyimpang sampai paham takfiri.

Menarik pula karya Muhammad Ali Hasan, yang menulis Kitabnya: al Fikru al Damwi 'Inda al Harakah al Wahhabiyah. Kitab ini mengupas tuntas bagaimana perjalanan Wahabi yang memiliki sejarah berdarah.

Selanjutnya Kitab al Wahhabiyah, karya Sami Qasim Amin Malji. Mengupas paham-paham mendasar Wahabi. Ada pula al Wahhabiyyun Tarikhu maa Ahmalahu al Tarikh. Dalam kitab ini pembaca akan menemukan penjelasan sejarah Wahabi yang tidak banyak orang tahu, ditulis Luwais Dukuransi.

Berikutnya Kitab Fitnah Al-Wahhabiyyah, karya Mufti Sayyid Ahmad Zainiy Dahlan. Kitab ini membahas sejarah pergerakan golongan Wahhabiyah dan jejak berdarah yang dilakukan. Termasuk menentang pandangan pendiri Wahabi Muhammad bin Abd Wahhab ihwal permasalahan tauhid.

Kitab ini menjadi rujukan penting yang pernah ditulis dalam menentang Wahabi.

Tak kalah menarik apa yang ditulis Jamil Affandy Sodafi Zuhawi dalam kitabnya: Fajr Al-Shodiq Fir Raddi ‘Ala Munkiri At Tawassul Wal Karamat Wal Khawariq. Beliau sendiri ulama di masa Khilafah Utsmaniyyah.

Kitab ini membahas hal-hal yang dilakukan Khilafah Utsmani, kemudian berpindah topik mengkritik keras pergerakan Wahabi yang keluar dari Khilafah Utsmaniyah.

Penulis banyak membahas permasalahan-permasalahan Tauhid dan hukum, seperti aqidah Tajsim yang dimiliki Wahabi, lalu Ijma’ Ulama dan Qiyas yang dibuang Wahabi.

Ada ratusan kitab yang menentang aqidah Tasjim dan paham Wahabi. Mulai Ulama-ulama sezaman Ibnu terdahulu, Ulama-ulama sezaman MBAW sampai Ulama kontemporer dunia.

Termasuk buku-buku serupa yang mengingatkan bahaya Wahabi, ditulis para cendekia dari Indonesia.

Di luar kitab itu, Wahabi juga kerap melakukan pemalsuan kitab karya Imam Madhzhab. Salah satunya, karya Imam Ahmad bin Hambal atau Imam Hambali. Yaitu kitab al Jami’ Fi al ‘Ilal Wa Ma’rifat ar Rijal.

Dalam kitab itu, ada doktrin agar makam-makam dihancurkan. Sebuah doktrin Wahabi yang berdusta atas nama Imam Madhzhab. Tidak heran pada Era Dinasti Saud, makam Rasulullah akan dibongkar. Beruntung, Komite Hijaz berhasil menggagalkan rencana tersebut.

Sempat Kembali Mengemuka

Tahun 2014, rencana pembongkaran dan pemindahan makam Rasulullah kembali mengemuka. Hal itu menyusul munculnya dokumen konsultasi yang dipimpin akademisi terkemuka Arab Saudi, Dr Ali bin Abdulaziz al-Shabal.

Dokumen setebal 60 halaman itu dimuat di jurnal kerajaan dan harian The Independent, yang kemudian dipublikasikan sejumlah media lainnya.

Ketua PBNU yang kala itu dipimpin KH Said Aqil Siroj dalam pernyataan tertulisnya, menjelaskan, sejarah kelahiran NU bermula dari Komite Hijaz. Sebuah gerakan yang menolak pembongkaran Ka’bah, makam Nabi Muhammad, dan situs-situs lain di Arab Saudi.

Kala itu, rencana pembongkaran makam Rasul juga memantik reaksi dari mantan Ketua Umum PBNU, Hasyim Muzadi.

Ia mengajak agar rencana memindahkan makam Nabi harus ditentang seluruh umat Muslim di dunia. Hasyim Muzadi menegaskan upaya pemindahan makam Nabi dilatarbelakangi pemikiran Wahabiyah.

Menteri Agama yang kala itu dijabat Lukman Hakim Saifuddin melakukan klarifikasi ke kedutaan besar Arab Saudi soal rencana ulang pembongkaran makam Rasulullah.

Lukman menemui Mustofa bin Ibrahim al Mubarok di kedutaan besar Arab Saudi melakukan konfirmasi soal pemindahan makam Nabi.

Dari pertemuan yang dilakukan pada awal September 2014, Lukman memastikan pemerintah Saudi tak pernah memberi pernyataan soal pembongkaran dan pemindahan makam Rasul.

NU Online, berbagai sumber

Berita Terkait

Image

Wapres Yai Maruf Bantah Isu Belasan Menteri Mundur

Image

Pemprov Kaltim dan Pemerintah Samarinda Tukar Aset

Image

Ribuan Surat Suara di Balikpapan dan Samarinda Rusak

Ikuti Ulasan-Ulasan Menarik Lainnya dari Penulis Klik di Sini
Image

Sekitarkaltim.ID -