UNRWA: Saatnya Izinkan Pers Internasional Masuk Gaza, Abadikan Praktik Genosida

REPUBLIKA NETWORK, SEKITARKALTIM – Komisaris Jenderal Badan PBB untuk Pengungsi Palestina (UNRWA), Philippe Lazzarini, telah meminta agar jurnalis internasional diberikan akses ke Gaza.
Ia juga memperingatkan disinformasi yang dilakukan penjajah zionis Israel terus digunakan sebagai alat untuk mengalihkan perhatian dari kekejaman di daerah kantong yang dilanda perang itu.
Dalam postingan di X, Lazzarini menggambarkan Gaza sebagai “medan perang informasi yang sengit dan merajalela,” dan mencatat bahwa distorsi media masih tersebar luas.
Ia mengatakan UNRWA salah satu yang pertama menjadi sasaran, diikuti badan-badan PBB lainnya, outlet media, dan lembaga kesehatan.
Lazzarini mengutip penyangkalan tentang kelaparan di Gaza sebagai satu contoh terbaru disinformasi, bersama temuan yang dirilis pekan ini oleh komisi penyelidikan independen PBB. Yang menyimpulkan Israel telah melakukan genosida terhadap warga Palestina di wilayah tersebut.
Menurut Lazzarini, penyangkalan itu bertujuan melemahkan penilaian para ahli internasional sekaligus mempromosikan narasi yang “menyangkal kekejaman dan merendahkan martabat warga Palestina.”
Ia memuji “kerja heroik” jurnalis Palestina yang terus meliput dalam kondisi yang buruk seiring meningkatnya operasi militer Israel. Namun, ia menekankan pers internasional juga harus diizinkan masuk ke Gaza untuk memastikan liputan independen.
"Waktunya telah tiba untuk mengizinkan jurnalis internasional masuk ke Gaza untuk mendukung rekan-rekan Palestina sebelum suara mereka juga dibungkam. Sudah saatnya untuk meliput peristiwa ini secara independen," kata Lazzarini, dilansir Days of Palestine, Jumat.
Gaza telah berada di bawah pembatasan ketat terhadap akses media asing sejak awal perang genosida Israel yang merenggut nyawa lebih dari 65.000 orang Palestina. Serta melukai lebih dari 160.000 orang.
Selama ini wartawan lokal menanggung beban mendokumentasikan kerusakan dan korban di tengah meningkatnya pemboman Israel terhadap warga sipil di Gaza.
UNRWA juga menyinggung biaya untuk meninggalkan rumah di Kota Gaza di bawah operasi genosida penjajah Israel mencapai $3.180, seraya menekankan, "Bahan bakar langka."
Badan tersebut menyatakan dalam sebuah unggahan: "Perlengkapan tempat penampungan UNRWA telah dilarang selama hampir tujuh bulan. Tempat-tempat penampungan sudah penuh sesak dan sulit ditemukan. Setelah hampir 2 tahun perang, orang-orang tidak memiliki penghasilan."
Dijelaskan bahwa biaya transportasinya sebesar $1.000, tenda keluarga biayanya $2.000, dan sewa tanah tempat tenda didirikan adalah $180. UNRWA juga mengimbau: “Biarkan kami mendatangkan bantuan kami.”
65.141 Warga Palestina Jadi Syuhada
Pada Kamis, Kantor Berita Palestina WAFA, melaporkan sampai 18 September 2025 tercatat jumlah korban tewas di Jalur Gaza telah mencapai 65.141 orang. Para syuhada yang tewas itu mayoritas perempuan dan anak-anak. Sedikitnya sebanyak 165.925 orang lainnya juga terluka.
Jumlah korban ini masih belum lengkap, karena banyak korban masih terjebak di bawah reruntuhan, tidak dapat diakses oleh ambulans dan kru penyelamat.
Sumber-sumber medis mengonfirmasi bahwa sejak Israel melanggar perjanjian gencatan senjata dan melanjutkan agresinya di Jalur Gaza pada 18 Maret 2025, setidaknya 12.590 warga sipil telah tewas dan 53.884 lainnya terluka.
Sumber menyatakan bahwa 79 jenazah dan 282 orang yang terluka dibawa ke rumah sakit di Gaza selama 24 jam terakhir.
Sumber-sumber itu mengindikasikan, dalam 24 jam terakhir, sembilan warga sipil tewas dan lebih dari 33 lainnya terluka saat berupaya menerima bantuan kemanusiaan.
Hal ini menjadikan jumlah total pencari bantuan yang tewas dalam serangan terkait bantuan menjadi 1.060 orang , dengan setidaknya 7.207 lainnya terluka.
Di sisi lain, sampai Jumat (19/9/2025), warga Gaza terbangun menyaksikan kembalinya pawai pengungsian paksa. Sisa penduduk kota terpaksa mengungsi ke selatan, banyak di antaranya berjalan kaki, di tengah deru pesawat tempur Israel dan gemuruh artileri.
Jalan yang seharusnya normal kembali berubah menjadi koridor ketakutan, dipenuhi keluarga-keluarga yang hanya memikul beban bertahan hidup di punggung mereka.
Militer Israel mengumumkan Jalan Salah al-Din akan tetap dibuka selama beberapa jam sebagai "koridor evakuasi sementara".
Juru Bicara militer berbahasa Arab, Avichay Adraee, mengunggah peta di X yang menandai jalan tersebut sebagai "rute transit" hingga pukul 12 siang (09:00 GMT). Namun bagi warga Palestina di lapangan, pengumuman tersebut bukanlah gestur kemanusiaan.
Pasukan penjajah Israel terus merangsek masuk ke Kota Gaza dari berbagai arah, memutus rute pelarian, dan memaksa penduduk mengungsi ke pesisir.
Tank, infanteri, artileri, dan serangan udara dikerahkan untuk memperketat pengepungan di sekitar kota, yang secara terbuka digambarkan juru bicara militer Nadav Shoshani sebagai kampanye untuk meningkatkan "tekanan terhadap Hamas."
Di jalan pesisir al-Rashid, lalu lintas melambat hingga hampir macet.
Keluarga-keluarga berdesakan di atas gerobak, mobil, dan kereta yang ditarik keledai, berusaha keras untuk menghindari bombardir. Yang lainnya hanya berjalan kaki.
PBB dan kelompok-kelompok hak asasi manusia telah berulang kali memperingatkan bahwa apa yang disebut "koridor aman" dan "zona kemanusiaan" Israel hanyalah ilusi.
Sebab, faktanya tidak ada satu pun wilayah di Gaza yang bebas dari penembakan.
Bagi banyak warga Palestina, ini menandai siklus pengungsian yang baru.
"Kami tidak tahu apakah kami akan pernah kembali," ujar seorang ayah yang mengungsi kepada Gaza Herald. "Setiap kali kami pergi, rasanya seperti terakhir kalinya."
Namun, masih banyak yang terjebak. Biro Pusat Statistik Palestina memperkirakan bahwa 740.000 orang, lebih dari sepertiga populasi Gaza, masih berada di utara, bertahan di permukiman yang hancur meskipun bombardir terus menghujani mereka.
Namun, setiap jam berlalu, semakin banyak yang terusir dari rumah mereka oleh tembakan gencar Israel. Apa yang sedang terjadi bukan sekadar serangan militer biasa.
Ini kampanye penghapusan yang terencana. Kota Gaza, yang dulunya merupakan jantung kehidupan Palestina, dikosongkan di bawah tembakan.
Setiap gerakan paksa ke selatan adalah luka baru yang terukir dalam ingatan orang-orang yang tidak punya tempat untuk lari, dan dunia yang masih menolak untuk campur tangan.
Mila
