Di Penjara Israel, Tahanan Palestina Alami Kondisi Mengerikan

REPUBLIKA NETWORK, SEKITARKALTIM – Direktur Hubungan Internasional di Asosiasi Klub Tahanan Palestina Raed Amer, menggambarkan situasi di dalam penjara Israel dengan kondisi “mengerikan dan sangat mengkhawatirkan.”
Amer mengatakan dalam sebuah pernyataan pada hari Selasa bahwa kesaksian dari para tahanan yang dibebaskan dan pengacara telah mengungkapkan kondisi yang suram.
Para tahanan pria dan wanita yang ditahan di penjara-penjara Israel juga mendapat siksaaan dan penghinaan berulang-ulang.
Dilansir Days of Palestine, pada Selasa (15/7/2025), Amer menjelaskan organisasi-organisasi hak asasi manusia telah banyak mendokumentasikan kisah-kisah dari mantan narapidana dan pengacara yang berhasil mengunjungi para tahanan.
Mereka melaporkan detail-detail “mengerikan” tentang penyiksaan, perlakuan buruk, dan pelanggaran yang terjadi di balik jeruji besi.
Amer menambahkan bahwa Klub Tahanan Palestina secara aktif bekerja di tingkat internasional untuk menarik perhatian terhadap penderitaan para tahanan.
Serta memberi informasi kepada badan-badan global terkait pelanggaran yang sedang berlangsung di dalam fasilitas penahanan Israel.
Ia merujuk laporan yang baru dirilis mengenai kondisi pergerakan tahanan Palestina selama paruh pertama tahun 2025.
Amer menggambarkannya sebagai laporan yang berisi “temuan yang sangat berbahaya” terkait kondisi penahanan, serta kebijakan Israel yang melakukan penyiksaan, kelaparan, dan penghinaan.
"Hal ini tercermin dalam pengakuan Israel bahwa 73 tahanan telah tewas akibat penyiksaan, yang setara dengan eksekusi," kata Amer. "Dan angka ini bahkan belum termasuk tahanan dari Gaza yang dieksekusi."
Menurut Amer, pasukan Israel telah menangkap lebih dari 18.000 warga Palestina dalam beberapa bulan terakhir. Saat ini, ada sekitar 11.000 warga Palestina yang ditahan di penjara-penjara Israel, hampir setengahnya berada dalam penahanan administratif tanpa dakwaan atau pengadilan.
Di antara mereka terdapat 50 tahanan perempuan dan sekitar 40 jurnalis.
Zionis Ancam Pengungsian Paksa
Sementara itu, Pasukan Pendudukan Israel (IOF) telah mengeluarkan perintah pengungsian paksa baru yang menargetkan warga sipil di 16 wilayah di Gaza utara.
Termasuk Kota Gaza dan kamp pengungsi Jabalia, yang menimbulkan kekhawatiran internasional yang meluas atas meningkatnya pengungsian dan memburuknya krisis kemanusiaan.
Juru bicara militer Israel menggambarkan perintah tersebut sebagai "peringatan mendesak bagi semua orang yang masih berada di Kota Gaza dan Jabalia," dan mendesak penduduk untuk "segera mengungsi ke selatan menuju wilayah al-Mawasi."
Kawasan ini sebelumnya telah ditetapkan militer sebagai koridor kemanusiaan sementara.
Namun, apa yang disebut “zona aman” seperti al-Mawasi di Khan Younis telah berulang kali menjadi sasaran serangan udara Israel.
Akibat serangan zionis itu korban sipil berjatuhan dan menimbulkan keraguan serius terhadap kredibilitas wilayah tersebut sebagai tempat perlindungan yang benar-benar aman.
Ancaman baru ini muncul di tengah eskalasi militer berskala luas. Serta peringatan dari organisasi internasional dan hak asasi manusia bahwa tindakan tersebut merupakan pengungsian massal yang dipaksakan, yang berpotensi melanggar hukum humaniter internasional.
Laporan menunjukkan seluruh lingkungan, termasuk Sabra, Sheikh Radwan, Al-Quds, Al-Daraj, Al-Tuffah, dan Tel al-Zaatar, terkena dampak perintah evakuasi terbaru ini, yang membahayakan puluhan ribu warga sipil tanpa jaminan keselamatan atau tempat berlindung.
Perserikatan Bangsa-Bangsa telah memperingatkan bahwa pergerakan paksa di bawah pengepungan dan pemboman hanya memperburuk kondisi Gaza yang sudah parah.
Terutama karena layanan kesehatan dan kemanusiaan berada di ambang kehancuran.
Warga sipil menghadapi kekurangan air, makanan, dan bahan bakar yang ekstrem. Di sisi lain, konvoi bantuan terus menjadi sasaran, bahkan ketika warga sipil mengantre untuk menerima pasokan yang sangat dibutuhkan.
Rencana tersebut juga menuai kritik dari dalam negeri Israel.
Penasihat hukum militer dilaporkan telah memperingatkan kebijakan semacam itu sebagai pelanggaran serius terhadap hukum internasional.
Mantan Perdana Menteri Israel Ehud Olmert menggambarkan usulan pembentukan apa yang disebut "kota kemanusiaan" di selatan sebagai sesuatu yang mengingatkan "kamp konsentrasi".
Hal itu dinilai sebagai pernyataan yang dianggap para pengamat sebagai peringatan internal atas potensi konsekuensi hukum dan politik.
Ancaman evakuasi ini bukanlah hal baru. Perintah serupa beberapa bulan terakhir telah memaksa sekitar 90% penduduk utara Gaza mengungsi ke selatan, di mana kondisi kehidupan masih memprihatinkan dan perlindungan terbatas.
Dengan arahan terbaru ini, kekhawatiran meningkat Gaza mungkin menghadapi gelombang pengungsian massal lainnya, jika tidak ada resolusi politik atau kemanusiaan yang jelas.
Korban Tewas Terus Bertambah Jadi 58.749 Jiwa
Kantor Berita WAFA, pada Se;asa melaporkan korban tewas di Jalur Gaza terus bertambah, hingga mencapai 58.479 jiwa.
Mayoritas korban adalah perempuan dan anak-anak, sejak dimulainya agresi Israel pada Oktober 2023. Setidaknya 139.355 orang lainnya juga terluka.
Sumber-sumber medis mengonfirmasi sejak Israel melanggar perjanjian gencatan senjata dan melanjutkan agresinya di Jalur Gaza 18 Maret 2025, setidaknya 7.656 warga sipil telah tewas dan 27.314 lainnya terluka.
Sumber menyatakan bahwa 93 mayat, termasuk tiga yang ditemukan dari bawah reruntuhan, dan 278 orang yang terluka dibawa ke rumah sakit di Gaza selama 24 jam terakhir.
Dalam 24 jam terakhir, enam pencari bantuan dipastikan tewas dan lebih dari 29 lainnya luka-luka, menurut laporan rumah sakit.
Hal ini meningkatkan jumlah total pencari bantuan yang tewas dan dibawa ke rumah sakit menjadi 844 orang, dengan lebih dari 5.604 orang luka-luka.
Jumlah korban ini masih belum lengkap, karena banyak korban masih terjebak di bawah reruntuhan, tidak dapat diakses oleh ambulans dan kru penyelamat.
Mila
