Masa Transisi, Pemerintahan Baru Suriah Bekukan Parlemen
REPUBLIKA NETWORK, SEKITARKALTIM – Paska runtuhnya rezim Bashar Assad, Pemerintah baru Suriah memutuskan membekukan konstitusi dan parlemen selama masa transisi. Masa transisi itu diberlakukan selama tiga bulan, menurut pejabat pemerintah, dilansir AFP.
Juru bicara Hay'at Tahrir Al-Sham (HTS), Obaida Arnaout, mengungkapkan komite hukum dan hak asasi manusia akan dibentuk untuk meninjau konstitusi dan mengusulkan amandemen.
Pasukan oposisi Suriah yang merebut kekuasaan di Suriah pada Ahad silam telah menunjuk Mohammad Al-Bashir sebagai pemimpin pemerintahan transisi sampai Maret 2025. Al-Bashir sebelumnya pernah memimpin Pemerintahan Keselamatan di kubu pemberontak Idlib, di Barat laut Suriah.
Mufti Libya, Sheikh Al-Sadeq Al-Gharyani, mengimbau rakyat Suriah agar menolak dukungan finansial dari aktor internasional, khususnya dari Arab Saudi dan Uni Emirat Arab. Ia meminta rakyat mengingat apa yang terjadi di Mesir dan Libya.
Al-Ghariani menyarankan warga Suriah belajar dari pengalaman revolusi sebelumnya di Mesir, Libya, dan Tunisia. Ia menyoroti negara-negara ini menghadapi tantangan yang signifikan karena pengaruh eksternal.
“Rakyat Suriah harus waspada terhadap mereka yang saat ini berkuasa,” pesan Al-Ghariani.
Ia mengungkap UEA dan Arab Saudi telah menginvestasikan sumber daya yang besar untuk melemahkan pemerintahan terpilih di Mesir dan Tunisia.
“Sekaligus memperburuk konflik seperti yang terjadi di Sudan.”
Al-Ghariani juga menekankan peran Israel dan sekutunya sebagai hambatan bagi revolusi ini, dengan menegaskan apa yang terjadi di Libya dan Mesir sebagai kudeta, bukan transisi demokrasi sejati.
Mufti mendesak warga Suriah tetap bersatu melawan retorika yang memecah belah yang disamarkan sebagai seruan untuk demokrasi.
Ia mewanti-wanti rakyat Suriah untuk menerapkan hukum yang adil jika ada menentang tujuan rakyat Suriah.
Mila