Usulan Kepala Daerah Dipilih Parlemen, Dinilai Ada Motif Tertentu
REPUBLIKA NETWORK, SEKITARKALTIM – Pemilihan gubernur dan wakil gubernur lewat Parlemen atau DPRD, yang disampaikan Presiden Prabowo, memantik pro kontra. Bahkan, wacana itu dinilai sebagai satu bentuk kemunduran demokrasi.
Pengajar Hukum Tata Negara di Universitas Gajah Mada Yogyakarta, Yance Arizona menilai wacana itu sebagai komitmen yang lemah terhadap demokrasi.
“Saya menilai pandangan Presiden Prabowo yang mengusulkan pemilihan kepala daerah oleh DPRD, bukan lagi pemilihan langsung, sebagai komitmen yang lemah terhadap demokrasi,” kata Yance, dihubungi Republika, pada Jumat (13/12/2024).
Ia menilai sistem pemilihan melalui lembaga perwakilan bakal kembali memutus partisipasi rakyat secara langsung dalam menentukan siapa pemimpin yang diharapkan.
Pemilihan yang dilakukan secara langsung oleh rakyat sebagai pemilih, menurut Yance, yang selama ini seharusnya dirawat Presiden Prabowo sebagai tolok ukur kualitas tinggi demokrasi di Indonesia.
Namun menurut Yance, penyampaian Presiden Prabowo itu bukan tanpa maksud.
Yance menilai, Presiden Prabowo yang melempar usulan agar pemilihan kepala daerah dikembalikan ke DPRD sebetulnya merupakan anak tangga pertama dalam wacana politik mengembalikan sistem pemilihan presiden dan wakil presiden melalui Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR).
“Jangan-jangan Presiden Prabowo sebenarnya juga mau mengembalikan pemilihan presiden oleh MPR, bukan lagi langsung oleh rakyat,” ujar Yance.
Ia mengimbau masyarakat dan pegiat sipil semestinya manaruh sikap curiga dan mengkritisi wacana tersebut. Karena semestinya, pemilihan secara langsung kepala daerah, pun juga kepala negara oleh rakyat yang selama ini sudah dilakukan, sebagai buah dari pohon reformasi yang sudah tertanam seperempat abad.
Yance bilang, pohon reformasi tersebut yang semestinya tetap dirawat untuk selalu menghasilkan buah yang berkualitas baik.
Menurutnya semangat demokratisasi yang sudah diwariskan dari reformasi adalah salah satunya gagasan tentang kedaulatan rakyat, kedaulatan di tangan rakyat.
“Yang itu diwujudkan dalam pemilihan kepala daerah, pemilihan presiden secara langsung oleh rakyat,” ujarnya.
Yance juga menilai, efisiensi dan koreksi biaya politik tinggi yang disebut-sebut Presiden Prabowo sebagai alasan untuk mengembalikan pemilihan ke DPRD sebagai masalah yang tak lagi relevan. Karena menurutnya, produk legislasi tentang pemerintahan daerah, pun perundangan tentang pemilihan kepala daerah sudah mengantisipasi.
Objek koreksinya, sambung Yance, para internal parpol pengusung dan para paslonnya. Karena praktik biaya tinggi dalam pemilu, maupun pilkada itu disebabkan karena praktik mahar-mahar.
“Seharusnya parpol dan paslon membangun kultur politik yang sehat dengan menekan, dan meminimalisir beban-beban biaya politik yang tinggi. Mekipun telah dilarang dalam UU Pemilu, dan UU Pilkada, tetap saja biaya praktik mahar politik untuk pencalonan itu masih sering terjadi,” sarannya.
Ia menilai kesalahan paling besar dalam kultur demokrasi saat ini hilangnya sosok-sosok yang memiliki ketauladanan yang demokratis. “Dan gagasan yang dilontarkan Presiden Prabowo itu cerminan lemahnya komitmen pemimpin dalam nilai-nilai demokrasi,” ujarnya.
Republika