Ribuan Netizen Ramaikan Petisi Tolak Rohingya dan Bubarkan UNHCR Indonesia
KALTIMTARA, REPUBLIKA – Petisi bertajuk: Tolak Pengungsi Rohingya dan Bubarkan UNHCR Indonesia, dibuka netizen di laman Change.org. Ada dua petisi sama di laman itu. Pertama petisi yang digagas New Kurnia. Petisi ini dibuka sejak 30 November 2023.
Isinya:
Kami, warga negara Indonesia, merasa terancam dengan keberadaan pengungsi Rohingya di tanah air kita. Jika tak kau usir sekarang, dari tanah kita suatu saat kau yang akan diusir, dari tanah kita sendiri! Ini adalah masalah pribadi bagi kami. Kami meminta Presiden Joko Widodo untuk membubarkan UNHCR Indonesia dan menolak pengungsi Rohingya.
Menurut data UNHCR pada tahun 2020, ada sekitar 14.000 pengungsi dan pencari suaka di Indonesia (sumber: UNHCR). Namun, kami merasa bahwa ini bukan tanggung jawab kami sebagai negara untuk menampung mereka. Kami percaya bahwa setiap negara harus bertanggung jawab atas masalahnya sendiri.
Kami mendesak pemerintah untuk mengambil tindakan segera dalam hal ini. Mari bersama-sama berjuang demi hak-hak warga negara Indonesia dan masa depan bangsa kita. Tandatanganilah petisi ini jika Anda setuju dengan pandangan kami.
Sampai Selasa (5/12/2023), petisi itu sudah diteken 371 orang dari target 500.
Adapun petisi kedua, dengan tajuk sama, baru dibuat hari ini. Namun, sudah diteken 1.414 orang dari target 1.500. Petisi kedua diinisiasi netizen bernama Dunia Rama.
Bunyinya:
Kepada yang terhormat pimpinan Negara Republik Indonesia bpk Jokowi kami rakyat Indonesia menuntut bubarkan UNHCR Indonesia dan pulangkan pengungsi rohingya dari tanah Indonesia.
Masyarakat Indonesia kompak dan serentak melakukan penolakan kedatangan pengungsi rohingnya karna terindentifikasi akan mengganggu keutuhan NKRI.
Melalui akun sosial medianya @ramaa1604, juga mempertanyakan donasi yang diterima UNHCR.
“UNHCR menerima donasi miliaran dolar setiap tahunnya. Kemana larinya donasi tersebut? Total donasi UNHCR setiap tahun rata-rata di atas $4miliar dolar AS per tahun,” tulisnya, seraya menunjukan data-data terkait.
Ia juga beranggapan bahwa UNHCR sebagai dalang berbondong-bondongnya pengungsi Rohingya yang tiba di Indonesia. “Pemerintah Indonesia harus tegas dalam hal ini untuk menutup UNHCR Indonesia, dan mengusir seluruh pengungsi Rohingya dari Indonesia,” ujar Rama.
Akun UNHCR Indonesia Tutup Kolom Komentar
Sejumlah netizen juga mengajak menggeruduk akun Instagram UNHCR Indonesia. Namun, akun centang biru dengan 59.6K followers itu telah menutup kolom komentarnya. Hanya satu postingan yang kolom komentarnya masih dibuka, dan telah dipenuhi ribuan desakan netizen Indonesia.
“Bubarkan saja UNHCR, rakyat menolak roghingya, dan UNCHR ttp memaksa, maka perlu diingat lagi, kedaulatan itu berada di tangan rakyat Indonesia bkn dtangan UNHCR,” kritik @iniayuee.
Pengguna sosmed lain menimpali.
“Tadi liat iklan, UNHCR Galang donasi buat pengungsi Rohingya. Jadi kalian gak punya duit buat nampung mereka?? Terus kenapa pede bgt kalian tampung semua yg dateng?? Itu pake duit siapa ngurusnya??”
“Bubarkan UNHCR. Gara2 kalian mereka se enaknya ke daerah kami,” desak @_teukumujie.
Netizen lain meminta agar dilakukan audit terhadap UNHCR Indonesia.
“Wajib diperiksa UBHR UNHCR, takutnya badan ini yang nyelundupin dan memberi izin,” tulis @izazulfi.
“Tanah mahal gue harus kredit 20 tahun, orang luar seenak nya dpt tempat tinggal,” sesal netizen lainnya.
Sebelumnya Republika mewartakan, Wakil Presiden RI Ma'ruf Amin membuka opsi untuk menampung para pengungsi Rohingya di Pulau Galang, Kota Batam, Provinsi Riau.
"Penempatannya di mana? Dulu kita punya Pulau Galang, nanti kita bicarakan lagi apa akan seperti itu," kata Ma'ruf Amin usai menghadiri Peluncuran Indonesia Sharia Economic Outlook (ISEO) 2024 dan Peresmian Universitas Indonesia Industrial Government (I-GOV) Ke-3 Tahun 2023 di Universitas Indonesia, Depok, Jawa Barat, Selasa (5/12/2023).
Ia mengatakan kedatangan pengungsi Rohingya yang kini mendapatkan penolakan dari masyarakat di Aceh, Riau, dan Medan merupakan permasalahan kemanusiaan yang harus ditanggulangi bersama antar-pemangku kepentingan.
Editor: Rudi Agung