Bupati PPU Sebut Kontribusi Sawit untuk Daerah Masih Timpang

REPUBLIKA NETWORK, SEKITARKALTIM – Bupati Penajam Paser Utara (PPU), Mudyat Noor menyebut ketimpangan kontribusi sektor sawit terhadap kemajuan daerah.
Selama ini, Kabupaten PPU hanya menerima Rp2 miliar per tahun. Namun dampak sosialnya jauh lebih besar. Seperti kerusakan jalan, konflik sosial, hingga beban layanan publik yang terus meningkat.
“Nilai yang diterima daerah tak sebanding untuk memperbaiki setengah kilometer jalan yang setiap hari dilewati truk angkutan sawit,” ujar Mudyat.
Untuk itu, Bupati Mudyat Noor menegaskan perlunya peningkatan Dana Bagi Hasil atau DBH sawit bagi daerah penghasil.
Di tengah efisiensi dan pemangkasan anggaran TKD, Mudyat menilai daerah harus mampu berinovasi meningkatkan pendapatan asli daerah. Termasuk di sektor layanan publik hingga jaminan sosial bagi pekerja rentan, khususnya mereka yang bekerja di bawah pabrik sawit.
Bupati menilai, selama ini kontribusi sektor perkebunan sawit terhadap PPU sangat besar, dari sisi beban sosial juga kerusakan infrastruktur.
Namun semua itu tidak sebanding dengan dana yang diterima pemerintah setempat.
Mudyat menganalisa, luasnya area perkebunan sawit memicu banyak persoalan di daerah, mulai konflik sosial hingga kerusakan jalan yang setiap hari dilalui kendaraan angkutan sawit.
Menurutnya perkebunan sawit memakan wilayah yang luas dan menimbulkan gejolak sosial cukup banyak dibanding tambang batu bara.
Ia pun menyoal ketimpangan beban daerah dan DBH yang diberikan pemerintah pusat.
“Saat ini, PPU hanya menerima sekitar Rp2 miliar per tahun. Kalau diukur, itu hanya cukup memperbaiki jalan 300 meter. Tapi jalan yang dilalui kendaraan sawit bisa mencapai ratusan kilometer,” tegasnya.
Bupati berpendapat adalah wajar jika pemerintah kabupaten meminta kenaikan porsi DBH dari 8 persen menjadi minimal 15 persen.
“Selama ini sebagian besar pungutan ekspor sawit dikelola oleh Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS), namun umpan balik yang diterima daerah penghasil sangat minim,” paparnya.
Ia menambahkan, “Feedback kepada daerah kurang. Ini yang mau kita perjuangkan.” Bupati Mudyat juga menyinggung minimnya kontribusi perusahaan perkebunan sawit terhadap daerah.
Di luar pajak dan pungutan ekspor yang dikelola pusat, hampir tidak ada kontribusi langsung perusahaan kepada pemerintah kabupaten.
“Selama ini tidak ada kontribusi perusahaan sawit terhadap daerah. Unsurnya tidak ada,” bebernya.
Ia juga menyoroti minimnya keterlibatan pimpinan perusahaan sawit dalam berdialog dengan pemerintah daerah.
Ia berujar, dengan DBH kecil seperti sekarang, jangankan jaminan pekerja rentan, perbaikan jalan 500 meter saja tidak sampai.
“Kita hafal perusahaan-perusahaan sawit. Kalau dipanggil tidak pernah datang, yang datang selalu humas. Harusnya pimpinan datang, karena dampak sosialnya luar biasa,” tegasnya.
Lewat Musyawarah Nasional Asosiasi Kabupaten Penghasil Sawit Indonesia (AKPSI), Mudyat berharap upaya kolektif 164 kabupaten penghasil sawit mampu mendorong lahirnya regulasi baru yang lebih adil bagi daerah.
“Kalau daerah mendorong sendiri-sendiri berat. Tapi kalau bersama-sama, kita bisa memperjuangkan kebijakan baru soal perkebunan kelapa sawit,” ujarnya.
Mudyat menegaskan DBH Rp 2 miliar jelas tidak memadai untuk menjawab persoalan infrastruktur maupun sosial yang timbul akibat industri sawit.
“Anggaran Rp2 miliar tidak bisa untuk infrastruktur, apalagi jaminan tenaga kerja,” tandasnya.
Ketimpangan Daerah Penghasil Sawit
Sebelumnya, Mudyat Noor terpilih sebagai Ketua Umum Asosiasi Kabupaten Penghasil Sawit Indonesia atau AKPSI periode 2025–2030.
Mudyat Noor menegaskan, Indonesia tidak boleh membiarkan daerah penghasil sawit berjalan sendiri menghadapi masalah klasik.
“Yaitu pendapatan minim, konflik sosial, dan kerusakan lingkungan. Sawit harus menghidupi rakyat, bukan justru menyulitkan mereka,” tegas Mudyat.
Ia mengaku prihatin dengan ketimpangan yang selama ini terjadi. Meski sawit jadi komoditas strategis dan sumber devisa besar, tetapi kabupaten penghasil justru sering menerima sisa-sisa manfaat.
Bahkan, seringkali mengalami sengketa lahan. Banyak perusahaan sawit menguasai lahan ribuan hektar, tapi kontribusinya minim.
“Retribusi daerah tidak mengalir, tapi dampak sosial dan kerusakan infrastruktur menjadi beban kabupaten. Dalam banyak kasus, masyarakat merasakan perusahaan sawit seperti negara dalam negara,” kritik Mudyat.
Lantaran itu, ia menekankan, AKPSI harus mengubah kondisi tersebut.
Daerah penghasil berhak menerima manfaat yang sepadan dengan beban yang mereka tanggung. Selama bertahun-tahun, retribusi dari tandan buah segar (TBS) sulit didapatkan tanpa dasar hukum yang jelas. Dana sawit nasional yang dikelola BPDPKS juga dinilai belum tepat sasaran.
Kepemimpinan Mudyat menargetkan beberapa langkah strategis.
Antara lain, memperkuat regulasi agar daerah bisa menarik retribusi TBS secara sah, advokasi dana sawit agar kembali ke masyarakat.
Selain itu kolaborasi antara pemerintah, perusahaan, dan petani untuk menekan konflik, serta mendorong investasi hilirisasi sawit untuk menciptakan lapangan kerja dan nilai tambah.
Ia juga mengingatkan, persoalan sawit bukan sekadar ekonomi. “Dampak industri sawit terhadap perubahan kimia tanah, banjir, kerusakan infrastruktur, dan konflik lahan harus segera diatasi. Sawit harus kembali pada fungsinya untuk mensejahterakan rakyat,” tegasnya.
Kini, AKPSI dengan kepengurusan baru diharapkan menjadi wadah kuat dan efektif.
“Pengurus baru bukan sekadar representasi kabupaten, tapi mesin perjuangan kolektif mengubah wajah industri sawit nasional,” ujar Mudyat.
Mudyat menegaskan AKPSI harus menjadi kekuatan kolektif bagi daerah penghasil sawit. Pihaknya ingin daerah penghasil sawit benar-benar mendapatkan manfaat maksimal.
“Masyarakat harus menikmati kesejahteraan dari keberadaan perkebunan sawit di wilayah kami,” ujar Mudyat, melalui keterangan tertulisnya, pada Selasa.
Ia menilai kontribusi perusahaan sawit masih sangat minim.
Selama ini, lanjut Mudyat, kontribusi perusahaan sawit masih sangat kecil, bahkan banyak persoalan yang muncul ke permukaan. Mulai pertanahan, konflik sosial, kerusakan infrastruktur.
“Sampai retribusi daerah yang belum kami terima satu rupiah pun,” ungkap Bupati Mudyat.
Ia menggambarkan kondisi itu sebagai kondisi “negara dalam negara” akibat luasnya penguasaan lahan dan lemahnya kendali daerah.
Lantaran hal itu, sambung Mudyat, AKPSI dibentuk untuk memperjuangkan hak daerah penghasil sawit secara bersama, termasuk mendorong lahirnya regulasi yang lebih adil.
Ia menilai sawit berbeda dengan sektor lain. Lahan sawit bisa mencapai ribuan hingga jutaan hektare, namun kontribusinya ke daerah masih minim.
“Untuk itu kita harus berjuang bersama melalui AKPSI agar potensi sawit benar-benar memberi manfaat bagi masyarakat,” tegasnya.
Taufik Hidayat