REPUBLIKA NETWORK, SEKITARKALTIM – PBNU merupakan rumah besar, ada yang suka membuka dapur hingga orang luar merasa seperti sedang masuk ke warung tegal: bebas mencomot lauk, ikut mencicipi bumbu, bahkan ada yang berpikir bisa jadi jurumasak.
Padahal mereka tak tahu, setiap sendok yang ditaruh di meja adalah hasil tirakat panjang para kiai dan santri yang memasak dengan doa, bukan sekadar resep politik.
Tentu, zaman memang bergeser. Mikul dhuwur mendem jero kerap dituduh usang, sedangkan semboyan katakanlah kebenaran meski pahit dijadikan senjata untuk menelanjangi rumah sendiri.
Scroll untuk membaca
Scroll untuk membaca
Akibatnya, fitnah, buzzer, sampai isu zionis, semua dipasangkan dalam satu menu prasmanan, dan publik miskin literasi memakannya dengan lahap.
Sejarah pun pernah mencatat, dari PNI hingga NU, aroma korupsi dan intrik bukan barang baru.
Tapi apa bedanya masa lalu dengan kini? Dulu, para wali dan kiai menutup luka dengan kain kafan kesabaran; sekarang, anak cucunya justru berebut menayangkan luka di layar gawai.
Kalau semua ini hanya sandiwara, maka air mata guru-guru kita jatuh sia-sia. Kalau ini pertarungan serius, maka yang kalah justru marwah kita bersama.
Ironinya, pepatah tego lorone ora tega patine sudah berganti rupa menjadi tego nglarani lan tega mateni, bahkan kepada saudara sendiri.
Entah di mana Gus Dur sekarang?
Mungkin benar beliau sedang tersenyum kecut sambil berkata, “kali ini benar-benar repot.” Sementara Semar hanya duduk di pojok, enggan berkata apa-apa. Ia tahu, semua yang bertarung adalah santrinya.
Maka, biarlah saya katakan: NU bukanlah panggung komedi atau pasar malam.
Ia rumah besar, warisan wali, yang hanya bisa dijaga dengan akhlak, khidmah, dan doa.
Siapa yang ingin berkuasa, silakan berebut. Tapi jangan lupa, kita semua hanyalah tamu di rumah para wali, bukan pemilik sebenarnya.
